Nama: Aprilla Mega R
Kelas: 2SA01
NPM: 11611027
Mata Kuliah: Ilmu Sosial Dasar
Tugas III: Kerukunan Umat Beragama
Kelas: 2SA01
NPM: 11611027
Mata Kuliah: Ilmu Sosial Dasar
Tugas III: Kerukunan Umat Beragama
Pengantar
Puji
syukur saya panjatkan kepada Tuhan YME, karena dengan rahmat -Nya saya dapat menyelesaikan
makalah Ilmu Sosial Dasar dengan judul “kerukunan
umat beragama” . Saya juga mengucapkan terimakasih
kepada dosen dan teman-teman saya yang telah banyak membantu pengerjaan makalah
ini. Saya harap kritik dan saran yang membangun untuk dapat mnyempurnakan
makalah ini. Semoga makalah yang saya buat ini dapat menambah wawasan para
pembaca dan generasi-generasi selanjutnya
Bab
I
Pendahuluan
Latar belakang
Kita
diciptakan sebagai makhluk sosial. Yang berati tidak bisa hidup sendiri. Kita
diciptakan dengan berbeda-beda agama. Karena itu kita diwajbkan untuk
menghargai satu sama lain. Adanya perbedaan membuat kita belajar memahami. Itu
semua dinamakan dengan kerukunan umat beragama
Bab II
Pembahasan
Pengertian
kerukunan
Kerukunan
dalam bahasa Arab disebut dengan kata tawaafuqun, tawaddun, ittifaqul kamilati.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kerukunan diartikan dengan kelapangan
dada, dalam arti suka rukun kepada siapapun, membiarkan orang berpendapat atau
berpendirianlain, tak mau mengganggu kebebasan berpikir dan berkeyakinan lain.
Kerukunan itu adalah satu tata pikir atau sikap hidup (thalent attitude) yang
menunjukkan kesabaran dan kelapangan dada menghadapi pikiran-pikiran,
pendapat-pendapat, dan pendirian orang. Dalam istilah agama islam,kerukunan itu
dinamakan tasamuh, yaitu membiarkan secara sadar terhadap pikiran atau pendapat
orang lain. Orang yang demikian dinamakan toleran.
Kerukunan
itu membentuk sikap lahiriah manusia dalam kaitannya dengan hubungan antar
manusia dalam masyarakat
kerukunan
antar umat beragama merupakan hal yang harus dianalisis ulang, mengapa? hal
inilah yang menjadi pembahasan kali ini. Kondisi sosial dan karakteristik
masyarakat yang ada daerah kota medan tergolong pada masyarakat atau komunitas
yang heterogen, baik bidang sosial, budaya dan agama. Di antara etnis yang
paling dominan serta berkembang di Kota Medan adalah etnis Cina, Batak, Jawa,
Minagkabau, Melayu dan etnis Aceh. Situasi atau kondisi masyarakat yang ada merupakan
sebuah tantangan sekaligus memotovasi dalam berkiprah untuk lebih maju dan
mengembangkan potensi yang ada.
Namun
jika ditinjau dari segi etnis yang ada di atas, kebanyakan etnis tersebut
merupakan kaum imigran dari berbagai negara dan daerah. Yang akhirnya
menjandikan masyarakat Kota Medan berpenduduk multi etnis, hal ini membawa
perubahan ke arah yang positif, di mana masyarakat mempunyai toleransi yang
tinggi. Di antara masyarakat pendatang maupun penduduk asli terjadi asimilasi
budaya yang variatif.
Jika
dilihat dari sisi etnis, penduduk asli Kota Medan adalah etnis Melayu, menurut
etnis Melayu Islam, agama merupakan syarakat yang mutlak untuk dapat diakui
menjadi etnis Melayu. Selanjutnya, sejalan dengan perubahan kondisi sosial
masyarakat yang ada di Kota medan, kemudian muncul etnis Batak sebagai imigran
yang paling dominan dari daerah. Yang akhirnya etnis Melayu sedikit demi
sedikit kurang menonjol, dan etnis Melayu diangap sebagai populasi yang kurang
mampu menguasai wilayahnya sendiri.
Jika
ditinjau dari segi agama dari komunitas atau masyarakat Kota Medan, lebih
dominan beragama Islam, kemudian disusul dengan agama lain seperti Kristen,
Protestan, Budha dan Hindu. Hal tersebut merupakan suatu gambaran realitas
kehidupana masyarakat Kota Medan yang serba pluralistik dan heterogen. Kondisi
pluralistik tersebut mengakibatkan timbulnya kecenderungan masing-masing untuk
menganut keyanina dan kepercayaan yang bermacam-macam.
Hal
tersebut juga berpengeruh terhadap sistem kekeluargaan yang ada, masyakarat
Kota Medan khusunya mempunyai cenderung memakai sistem kekeluargaan, yaitu
sistem kekeluargaan patrilinial, walaupun sebahagian kecil ada yang menganut
sistem kekeluargaan matrilineal dan parental. Kepluralistikan tersebut bukan
saja dalam hal sistem kekeluargaan sebagaimana yang disebutkan di atas, namun
dari segi etnis, budaya dan agama turut mewarnai masyarakat Kota Medan
sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Meskipun
demikian, semuanya dipengaruhi oleh budaya, kebudayaan setiap bangsa atau masyarakat.
Berbicara tentang kebudayaan atau budaya dapat ditinjau dari unsur-unsur besar
maupun unsur-unsur kecil yang meruapakan bagian dari suatu kebulatan yang
bersifat sebagai kesatuan.
B.
Pola Hubungan Masyarakat
Secara
naluri bahwa manusia adalah makhuk yang mempunyai keinginan untuk hidup
bermasyarakat, artinya setiap manusia punya keinginan untuk berkumpul dan
mengadakan hubungan antara sesamanya. Di mana ada masyarakat di sana ada hukum
(Ubi societas Ibi Ius) demikianlah ungkapan Cicero kira-kira 2.000 tahun yang
lalu. Ungkapan yang sama juga pernah disebutkan oleh L. J. Van Apeldoorn, dalam
versi lain ia menyatakan : “Recht is er over de gehele wereld, overal, waar een
samenleving vanmensen is” (hukum terdapat di dalam setiap masyarakat manusia,
betapapun sederhananya masyarakat tersebut). Sesuai dengan ungkapan Cicero dan
L. J. Van Apeldoorn tersebut, seiring dengan kondisi sosial yang terjadi di
dalam kehidupan masyarakat yang ada.
Kumpulan
atau persatuan manusia yang saling mengadakan hubungan satu sama lain itu
dinamakan “masyarakat”. Jadi masyarakat terbentuk apabila dua orang atau lebih
hidup bersama, sehingga dalam pergaulan hidup mereka timbul berbagai hubungan
atau pertalian yang mengakibatkan mereka saling mengenal dan saling mempengaruhi
Bagaimanapun
sederhananya dan moderennya masyarakat tersebut, sangat signifikan adanya
norma, maka norma tetap sebagai suatu yang mutlak harus ada pada masyarakat.
Untuk itu, norma hukum maupun norma lainnya dalam masyarakat tujuannya untuk
keseimbangan, keserasian dan kesejahteraan hubungan-hubungan manusia dam
masyarakat.
Selanjutnya,
sebagaimana telah dijelaskan lebih dahulu bahwa, masyarakat kota Medan yang
multi etnis tentu mempunyai corak dan karaktersitik yang bermacam-macam. Hal
tersebut merupakan sebuah bukti bahwa kondisi itu erat kaitannya dengan kondisi
masyarakat yang pada pada umumnya utamanya, perantau sehingga memilih motif
masing-masing, sesuai dengan karakter dan keadaannya.
Misalnya
orang Minangkabau merantau ke Deli di samping berdagang, mereka juga membawa
pembaharuan, sesuai dengan kondisi dan kebiasaan yang mereka anut. Perantau
Minangkabau mayorotas adalah untuk memperkaya dan memperkuat alam Minangkabau.
Sementara perantau dari etnis Batak cenderung menonjolkan sukunya dengan marga-marganya
yang begitu khas.
Dari
etnis-etnis yang ada di Kota Medan, para perantau biasanya utamanya perantau
Minangkabau dan Mandailing (Batak) menganggap diri mereka lebih berpendidikan
dibandingkan Tuan Rumah orang Melayu. Minang menolak berasimilasi dengan budaya
Melayu Muslim, begutu juga dengan kelompok Mandailing (Batak) secara formal
telah mengasimilasikan diri ke dalam budaya Melayu Muslim walau hanya
dipermukaan; seperti memakai bahasa Melayu, menaggalkan nama-nama atau merga
Batak mereka dan akhirnya mereka mengaku berbangsa Melayu.
Sementara
orang Minagkabau menolak praktek-praktek keislaman yang dilaksanakan oleh etnis
Melayu. Sebaliknya, mereka dengan menggunakan organisasi reformis Islamiyah
sendiri, menentang legitimasi konsep Islam masyarakat Melayu. Tetapi hal yang
sangat signifikan untuk diperhatikan adalah, kelompok etnik melayu, sebagai
tuan rumah (host population) tidak memiliki kekuatan sosio-demokrafik
menjadikan dirinya menjadi populasi tuan rumah yang dominan seperti etnik sunda
di bandung, karena etnis Melayu bukan etnis mayorotas di kota Medan.
Disebabkan
adanya multi etnis di kota Medan meyebabkan adanya berbagai varaian sifat dan
budaya yang mempunyai eksistensi tersendiri. Disebabkan adanya kepluralistikan
etnis tersebut, tentunya punya perbedaan serta persamaan. Meskipun ada sekilas
adanya persamaan, tetapi masing-masing mempuanyai ciri khusus, hal ini
disebabkan adanya perbedaan wilayah, bahasa, dan adat. istiadat yang
berbeda-beda. Terlebih-lebih setiap kelompok masyarakat ini tidak merasa
tergabung antara satu dengan yang lain, sesuai dengan sentimen diri mereka.
Sedangkan
menurut Kuncoro Ningrat, dalam karyanya yang berjudul, Antropologi Sosial,
menyebutkan bahwa untuk membedakan komunitas yang satu dengan yang lainnya
selain berdasarkan kenyataan perbedaan yang ada, lebih ditentukan oleh sentimen
persatuan masing-masing kelompok atau komunitas.
Kemudian,
untuk menindak lanjuti dari pendapat Kuncoro Ningrat di atas, dalam hal ini
sangat penting untuk membicarakan tentang pola hubungan masyarakat, sebab
sangat terkait dengan apa yang disebut interkasi sosial. Interaksi tersebut
merupakan faktor utama dalam kehidupan masyarakat, bentuk umum proses sosial
adalah interaksi sosial (yang juga dapat dinamakan proses sosial), oleh karena
interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial.
interkasi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang
menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, anatar kelompok-kelompok
manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia.
Berlangsungnya
suatu interaksi didasrakan pada berbagai faktor, antara lain faktor imitasi,
sugesti, identifikasi dan simpati. Faktor-faktor tersebut dapat bergerak
sendiri-sendiri secara terpisah maupun dalam keadaan tergabung. Bila ditinjau
secara lebih dalam maka faktor imitasi misalnya, mempunyai peran yang sangat
penting dalam proses interkasi sosial.
C.
Pola Hidup Beragama Masyarakat
Untuk
mengetahui pengaruh agama terhadap masyarakat, ada tiga aspek yang sangat
siknifikan untuk dikatahui, yaitu kebudayan, sistem sosial, dan kepribadian.
Ketiga aspek itu merupakan fenomena sosial yang kompleks dan terpadu yang
pengaruhnya dapat diamati pada perilaku manusia. Berkaitan dengan hal tersebut,
Nottingham menjelaskan secara umum tentang hubungan agama dengan masyarakat
yang menurutnya terbagi kaepada tiga tipa, kondisi tipe tersebut nampaknya
mengikuti konsep Agus Komte tentang proses tahapan pembentukan masyarakat.
Sejalan
dengan penjelasan di atas, perlu kiranya melihat lebih dalam tentang pola hidup
beragama masyarakat kota Medan. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa,
kota Medan merupakan sebuah kota yang serba heterogen, dalam hal ini termasuk
dalam sektor agama dan juga bidang budaya. Sebagai sebuah komunitas yang
heterogen pasti mempunyai atau menganur agama yang berbeda-beda. Di antara
agama yang diakui, agama Islamlah yang paling banyak dianut oleh masyarakat
kota Medan, kemudian menyusul agama Kristen, Protestan, Budha dan Hindu. Dalam
menata pola hidup beragama masyarakat kota Medan yang serba majemuk dalam
bidang agama tersebut, siknifikan adanya dibina dan digalakkan adanaya
kerukunan antar agama.
Agar
kerukunan hidup antar umat beragama, Hugh Goddard, seorang Kristiani Inggris, yang
ahli teologi Islam, mengingatkan, bahwa kerukunan antar umat berama harsu
dihindari penggunaan “standart ganda” (double standars). Orang-orang Kristen
ataupun Islam, misalnya, selalu menerapkan standar-standar yang berbeda untuk
dirinya, biasanya standar yang ditunjukkan bersifat ideal dan normatif.
Sedangkan terhadap agama lain, mereka memakia standar lain yang lebih bersifat
relistis dan historis. Melalui standar ganda inilah, muncul prasangka-prasangka
teologis yang selanjutnya memperkeruh suasana hubungan antar umat beragama. Ada
tidaknya keselamatan dalam agama lain, seringkali ditentukan oleh pandangan
mengenai standar ganda kita. Keyakinan bahwa agama sendiri yang paling benar
karena berasal dari Tuhan sedangkan agama lain hanyalah konstruksi manusia.
Namun,
jika ditinjau dari segi kerukunan beragama masyarakat kota Medan selama ini,
sangat mendukung terciptanya kerukunan antar umat beragama. Hal ini terkesan
dari masyarakatnya yang sangat antusias dalam mewujudkan terciptanya kerukunan
yang senantiasa mendambakan kedamaian dan keamanan. Sehingga terhindar dari
kekacauan dan kekerasan yang mengakibatkan kekhawatiran akan muncul percekcokan
yang mengarah kepada perbedaaan agama atau keyakinan.
Bila
dilihat dari struktur sosial masyarakat, acapkali dibedakan antara dua macam
persoalan yang meyangkut pola hidup beragama masyarakat yaitu antara masalah
masyarakat ansich (scientifis or social problems). Dengan problem sosial
(ameliorative or social problems). Yang pertama menyangkut analisis tentang
macam-macam gejala kehidupan masyarakat. Sedangkan yang kedua meneliti
gejala-gejala abnormal masyarakat dengan maksud untuk memperbaiki atau bahkan
untuk menghilangkannya.
Sangat
urgen kiranya tinjauan ini, artinya disoroti dalam lingkup kaijian sosiologi
yang notabenenya meyelidiki persoalan-persoalan umum dalam masyarakat dengan
maksud untuk menemukan dan menafsirkan kenyataan-kenyataan kehidupan
kemasyarakatan. Sedangkan proses lanjutannya merupakan bagian dari perekerjaan
sosial (social work). Dengan perkataan lain, berusaha untuk memehami
kekuatan-kekuatan dasar yang berada di belakang tata kelakuan sosial.
Bab III
Kesimpulan
Menurut saya betapa
pentingnya kerukunan antar umat agama itu harus ditanamkan sejak dini. Belajar
untuk menghargai setiap agama akan membuat tercipta nya kedamaian dan
kesejahteraan. Menjaga kerukunan dapat dilakukan oleh setiap kalangan dan
dengan cara membuat agama lain aman saat beribadah itu juga termasuk hal
penting yang perlu diperhatikan